Jumat, 02 Maret 2012

Edisi Galau Ber-majas

Lelak itu menarik perhatianku *lagi*. Bukan karena tingkahnya, melainkan lebih karena aura yang terpancar. Dengan kacamata ber-frame hitam bertengger di hidung mancungnya, memberi aksen cerdas di mimik mukanya yang polos. Rambut cepak yang sengaja ia biarkan menutupi sedikit dahi dan pelipisnya itu sesekali ia garuk pertanda sedang mencoba berpikir. Ia tertunduk, membisu, dan membolak-balikkan kertas di hadapannya. Mulutnya sedikit terbuka dan berkomat-kamit entah berkata apa, dan sepasang mata besar itu berlari dengan lincah menyusuri kata demi kata di atas kertas.

Seperti biasa, aku selalu terpukau dengan pemandangan tersebut. Aku menatapnya lama. Begitu lama. Cukup lama untuk menyadarkanku bahwa kini ia berada di hadapanku. Memangku dagu, dan memamerkan cengiran kesukaanku. Aku mengerjap. Aku tahu, terkadang aku harus menutup mata dan berusaha menenangkan diri dari serbuan emosi. Aku mencoba menghela nafas dalam. Ia mendekat, cengiran itu masih melekat di ujung bibirnya. Ia berkata padaku : "Kamu sakit? Kok pucet?" Tercekat. Entah mengapa saat aku berada jauh darimu anganku selalu menemukan banyak sekali kosa kata untukku perbincangkan padamu. Namun saat ini, saat kau sangat dekat berada di sini, sangat dekat denganku, entah angin apa yang membawa anganku. Seakan kosa kata memiliki berat berton-ton. Mulutku terlalu kelu. Menggeleng. Menghindari tatapannya, menghindari untuk masuk lebih dalam.

Aku memang memujanya. Masih memujanya, dan akan tetap memujanya. Entah motivasi apa yang aku dapatkan hingga aku sangat yakin pada pendirianku ini.